Membaca: Budaya yang hilang dari Bangsa Kita

Bismillah

Allohumma Shalli ala Muhammad, Amma ba’d

Setelah penulis membaca buku “Mereka yang Menulis dari Balik Penjara” karya Budi Kurniawan, penulis memantapkan hati untuk menulis artikel ini, yang berjudul Membaca: Budaya yang hilang dari Bangsa Kita
Dulu ketika penulis mengikuti suatu kuliah umum di kampus, penulis mendengar ada seorang akademisi dari Jerman, yang mengunjungi kampus kami. Tapi akademisi tersebut mengatakan suatu keheranan, “kok jarang sekali mahasiswa yang memegang buku”?
Hanya suatu keheranan akademisi Jerman tersebut yang penulis dapatkan dalam kuliah umum itu. Satu kalimat tapi yang terus menerus ku pikirkan untuk mengamati diri sendiri dan lingkungan kuliah pada umumnya.
Dan penulis mendapatkan sebuah kenyataan yang “hampir” membenarkan keheranan akademisi Jermas tersebut.
Penulis mendapati diriku yang masih sangat kurang dalam membaca buku. Kenapa kurang?, ya karena masih dangkal sekali wawasan penulis. Meskipun sudah mengoleksi buku lebih kurang 500 judul, dan membaca lebih kurang 1000, tapi tetap saja ketika melihat dan mendengar argumen dan membaca buku, selalu saja penulis mendapati diri yang begitu dangkal wawasanya.
Selain itu, penulis mendapati suatu kalimat yang mengejutkan. “meskipun masih banyak orang Indonesia yang malas membaca, namun tidak bisa dimungkiri bahwa INDONESIA TERLAHIR DARI KEGIATAN MEMBACA DAN MENULIS.”

Subhanalloh, ternyata tepat sekali. Kalimat tersebut. Coba kita cermati sejarah dari para pendiri (founding father) Indonesia kita
1. Soekarno
Siapa yang tak mengenal orang nomor 1 ini. Sosok yang menjadi pengobar api semangat kemerdekaan bangsa kita. Siapa sangka, dibalik lantangnya orasi di atas podium yang menggemparkan dunia Internasional, Soekarno tidak bisa lepas dari aktivitas MEMBACA.
Soekarno membaca apapun ilmunya, entah itu ilmu tentang agamanya (Islam), tentang demokrasi, tentang marxisme, tentang ekonomi dan sebagainya. Entah bacaan dari dalam maupun luar negri.
Subhanalloh, aktifitas membaca selalu dilakukan meskipun Soekarno dalam situasi pembuangan dan penjara. Dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”, penulis menemukan suatu fakta bahwa
Aktifitas membaca dan menulis dan diskusi tidak pernah berhenti, meskipun Soekarno telah menjadi orang nomor 1 di Indonesia.
Soekarno adalah Muslim yang Kritis. Yaitu tidak serta merta menerima iman islam dengan dogma belaka. Tapi juga menggunakan akal untuk menguatkan iman dan Islam, sehingga sering mendapat tantangan dari ummat islam yang kolot

2. KH. Hasyim Asy’ari
Jika Soekarno terkenal dengan tokoh Nasionalis, maka penulis tampilkan tokoh yang Islamis, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Dibalik sosok karismatiknya siapa yang menyangka, aktifitas membaca beliau dimulai dari sejak kecil. Sejak usia 13 tahun dibawah bimbingan ayahnya, beliau membaca dasar-dasar tauhid,fiqih,tafsir dan hadist.
Karena kegemaran beliau belajar dan membaca, di usia belia sang ayah menyuruhnya mengajar para santri di pesantren yang dimilikinya. Yang kemudian kegemaran itu terus dibawa sampai beliau menempuh pendidikan di Mekah. Di sana beliau membaca dan mempelajari tafsir Al-Manar karya Abduh. Kitab tafsir yang berbasis tafisr social atau tafsir rasional. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asyari tidak menganjurkan kitab ini dibaca oleh muridnya.
Alhamdulillah, karena kegemaranya membaca dan belajar membuat beliau menelurkan karya yang banyak. Setidaknya yang sudah diterbitkan 14 karya.
Selain sebagai pencetus Nahdhatul Ulama, beliau juga lah sebagai pencetus Resolusi Jihad. Yaitu Ijtihad beliau terkait kewajiban berperang melawan penjajah. Resolusi yang membuat seluruh pesantren, kyai dan santrinya turun di medan jihad menumpas penjajah.

3. Tan Malaka
Kali ini penulis menampakkan tokoh komunis, yaitu Tan Malaka atau dikenal Ibrahim. Di sini bukan berarti penulis Pro dengan komunis, akan tetapi mengambil sisi baik dari seorang Tan Malaka. Darah juang yang mengalir di tubuhnya, membuat dia tidak pernah nyaman dengan kondisi yang ada.
Kegemarannya membaca membuatnya menjadi orang Indonesia pertama yang belajar di Sekolah Tinggi Harleem (Belanda). Dan di sana dia menjadi murid yang pandai Ilmu Pasti. Yang saat itu, orang timur jarang sekali bisa.
Yang penulis kagumi, Tan Malaka dikenal sebagai pelahap buku. Dia tidak enggan untuk berhutang dan tidak makan untuk membeli buku. Maka tidak jarang dia sakit. Aktivitas membacanya dilakukan dimanapun, meskipun berada dalam penjara. Karena Tan Malaka orang yang sangat pemberani dan Kritis, sehingga dia berani mengkritik pemerintah colonial, Orde Lama sampai Orde Baru. Sehingga tidak jarang dia keluar masuk penjara, karena itulah menghasilkan karya fenomenalnya yang berjudul “dari penjara ke penjara

Demikian lah 3 contoh pendiri bangsa kita yang hidupnya tidak pernah lepas dari aktifitas membaca. 3 tokoh yang berbeda latar belakang dan pemikiran, Nasionalis, Agamis dan Komunis. Sebenarnya tidak Cuma mereka bertiga, masih banyak lagi seperti Bung Hatta, Sutan Syahrir, Pramoedya Ananta Toer, Kartini dan sebagainya. Biarpun mereka berbeda-beda latar belakang akan tetapi sama-sama membangun bangsa kita dengan satu budaya, yaitu MEMBACA.
Lalu apa yang terjadi sekarang dengan bangsa kita sekarang?
Subhanalloh, sungguh sangat miris.
Membaca sekarang menjadi salah satu budaya yang hampir hilang. Hipotesa yang paling mudah “hari ini, buku apa yang telah kita baca?”. Jika para pendiri bangsa kita menjadikan aktifitas membaca dan menulis sebagai media perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh banyak orang kapan pun dimanapun, sekarang aktifitas membaca hanya identik dengan lembaga pendidikan, yaitu sekolah, pesantren atau kampus.
Tapi, apakah demikian?

Mari kita lihat,
1. Perguruan Tinggi
Memang sejatinya kampus identik dengan budaya baca, akan tetapi keheranan akademisi Jerman di atas, adalah sebuah kondisi riil kampus sekarang pada umumnya. Yang jarang sekali ada pemandangan mahasiswa duduk di teras atau taman dengan aktifitas pergulatan akal dihadapan panggung perjuangan yang namanya MEMBACA.
Lalu apa aktifitas mahasiswa di kampus umumnya sekarang? Tahun 2019 dengan era kemajuan teknologi di sisi negatifnya (tanpa menafikan sisi positif), telah merampas budaya bangsa kita, MEMBACA. Lebih banyak dijumpai saat ini, mahasiswa yang lebih enjoy dengan gadget nya. Dan itu menjadi pemandangan yang kurang mengenakan di hampir setiap sudut kampus.
Jadi tak heran, jika dalam suatu forum, di kelas misalnya. Tidak terjadi kesengitan dalam beradu argument nya. Lebih banyak penghuni tanpa suara. Karena apa?, karena yang diam tidak mempunyai masalah apa-apa, sehingga tidak perlu menanyakan dan menjawab apa-apa. Karena sejatinya masalah dia adalah TIDAK MAU MEMBACA.
Ya, umumnya mahasiswa membaca jika dia dipaksa mengerjakan tugas atau paling tidak skripsi. Tapi tak jarang pula, mahasiswa yang ketika skripsi pun uangnya yang berbicara.
TIDAK SEMUA SEPERTI ITU, Alhamdulillah masih ada organisasi BEM/DEMA dan organisasi ekstra (seperti HMI, IMM, KAMMI. PMII, dll) yang menjadi pewaris dan penerus budaya bangsa yaitu MEMBACA.

2. Pesantren
Di pesantren tidak lepas dari aktifitas membaca sebenarnya. Entah itu membaca alqur’an, hadits maupun kitab-kitab klasik. Akan tetapi apakah demikian adanya?. Setelah penulis membaca pemikiran Muhammad Abduh, penulis meng-iya-kan kondisi pendidikan islam saat ini, pesantren khususnya.
Kurikulum pesantren masih mewarisi pendahulunya, yaitu menekankan hafalan. Entah santri memahami atau tidak, yang penting harus hafal dulu. Dan inilah yang sangat ditentang oleh Muhammad Abduh sekitar 300 tahun lalu di Mesir. Dan lucunya sampai sekarang masih sama.
Jadi pertama, pesantren mengutamakan menghafal dari pada membaca dari literature lainnya. LBM (Bahtsul Masail), menjadi penutup dari celah itu. Tapi dalam LBM pun masih ada kekurangan, diantaranya dalam LBM, pembahasanya selalu dalam satu madzhab, yaitu madzhab Syafi’i. biarpun menggunakan madzhab lain, tapi hanya sebatas pelengkap, bukan menjadi konklusi dari pembahasan. Selain itu, dalam LBM jarang sekali berani bertentangan dengan kyai-nya. Biarpun ada prinsip keberkahan, tapi dalam dunia ilmiah, tidak ada kebenaran mutlak. Hal ini terlihat dari perbedaan guru-murid di antara para founder madzhab. Imam Syafi’I misalnya, beliau berbeda dengan gurunya Imam Maliki. Sehingga melahirkan madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’i.

3. Sekolah (SD-SMP-SMA)
Bagi penulis sendiri, fase pendidikan yang paling tidak mendidik adalah fase ini. Insya Alloh akan dibahas secara luas di lain kesempatan.
SMA misalnya, apakah pernah ditemukan seorang pelajar membaca Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun yang nyambung dengan anak Akuntansi. asy-Syifa nya Ibnu Sina, yang didalamnya terdapat fisika, matematika, logika dll yang nyambung dengan anak IPA. The Wealth Nations-nya Adam Smith yang nyambung dengan anak IPS.
Memang terlalu hiperbolis, tapi seharusnya seperti itu lah anak muda dalam mewarisi budaya membaca. Karena pendiri bangsa kita tidak hanya belajar dari LKS, PR, tugas ini-itu. Tapi menjadikan MEMBACA melebihi dari UN itu sendiri.

Penutup
Demikian penulis menyampaikan Membaca: Budaya yang hilang dari Bangsa Kita
Penulis berharap, penulis dan sekeluarga semakin semangat membaca dan menulis begitu juga Anda sebagai pembaca. Agar Alloh menjadikan kita sebagai pelanjut perjuangan dakwah Rasulullah,
Ya Alloh, ampunilah dosa-dosa dan terimalah ibadah pahlawan-pahlawan bangsa kami yang beriman kepadaMu
Ya Alloh, jadikanlah kami bisa mencontoh beliau dalam memperjuangkan agama-Mu
Ya Alloh, jadikanlah salah satu bahkan semua keturunan kami, sebagai penerus dakwah Rasul-Mu, sebagaimana mereka

Referensi:
Mereka yang Menulis dari Balik Penjara” karya Budi Kurniawan,
Alhamdulillah
Wallohu a’lam
Banyumas, 5 Oktober 2019/6 Safar 1441 H
Ngubaidillah
Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top