ada hal menarik dalam tradisi ibadah ummat Islam di Indonesia. yaitu perbedaan dalam mengawali ibadah puasa dan mengakhirinya. memang dalam skala makro hal ini tidak menjadi konflik fisik. akan tetapi dalam skala mikro hal ini akan menyebabkan terjadinya klaim kebenaran di antara personal maupun komunal. langkah taktis yang diambil pemerintah melalui Kementrian Agama yaitu mempertemukan semua Ormas Islam untuk menentukan hilal secara bersama. dan menariknya masih ada saja beberapa golongan yang tidak mengikuti keputusan pemerintah. sehingga menjadi bahan pemberitaan di media televisi maupun media massa.
Memaknai “Rukyat”
Pengertian rukyah dari kacamata istilah adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam pada ahir bulan atau pada tanggal 29 Qomariyah. Untuk itu, jika rukyah sudah berhasil melihat hilal pada saat matahari terbenam maka hari besok itu sudah dihitung memasuki bulan baru, tetapi sebaliknya bila belum dapat dilihat, maka sejak matahari terbenam itu sudah dihitung bulan baru, akan tetapi sebaliknya jika tidak terlihat, maka malam itu dan hari berikutya merupakan bulan yang berjalan dengan digenapkan atau istikmal
Memaknai “hilal”
Dalam bahasa Arab hilal adalah sebuah kata isim yang terbentuk dari tiga huruf asal (alif, ha dan lam) sama dengan terbentuknya kata fi’il a-halla yang berarti tampak Dari tinjauan bahasa, al-Qur’an, dan Sunnah dapat disimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. 11 Berarti awal bulan Islam ditentukan dengan visibilitas hilal. Tradisi umat Islam dalam beberapa abad mengamati hilal memperkuat keyakinan bahwa hilal merupakan fisik objek langit yang dapat dilihat
Terkait dengan hilal, secara astronomis definisi hilal (new moon) adalah fase bulan setelah berada di satu garis bujur yang sama dengan matahari dan bumi. Dalam fase ini, bulan terlihat hanya sebagian kecil dari bagiannya setelah mengalami peristiwa konjungsi. Bagian kecil yang disinari matahari inilah, yang disebut dengan hilal yang menandakan datangnya bulan baru.
Landasan Hukum dilakukannya Rukyat Hilal
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[ HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[ HR. Abu Daud no. 2342]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[ HR. An Nasai no. 2116]
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Teknis penerapan Rukyat Hilal
Melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan qomariyyah dengan mata atau teleskop. Dalam astronomi dikenal dengan observasi. Dengan demikian, rukyah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit untuk pertama kalinya setelah ijtima’ (konjungsi), yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang.
Dalam pendekatan astronomi, konjungsi merupakan peristiwa saat matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. Pada saat tertentu, konjungsi ini dapat menyebabkan terjadinya gerhana matahari.
Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
Menggabungkan Konsep Astronomi dan Konsep Fikih
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), terhadap data Rukyat al-hilal di Indonesia (1962- 1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktik ḥisab-Rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhinya kedua kriteria itu. Apabila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Umur hilal minimum 8 jam; 2) Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan-matahari. Apabila bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi apabila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Dengan kriteria hilal tersebut diharapkan dapat menjembatani konsep astronomi dan konsep fikih dalam penyusunan kalender Islam. Penyatuan kalender Islam dalam pandangan astronomi sangat dimungkinkan, karena gagasan awal komponen penyusun struktur kalender Islam telah mapan. Dalam pandangan astronomi, hilal merupakan bagian dari proses pembentukan dan perubahan sabit bulan yang kontinu dalam fenomena fase bulan. Fenomena terbentuknya sabit bulan sangat erat kaitannya dengan geometri kedudukan bumi, bulan, dan matahari. Posisi sains tentang hilal adalah untuk kepentingan operasional dalam melaksanakan syariat tentang penetapan awal bulan Qamariah.
Kelebihan Metode Rukyat dalam Menentukan Hilal
Sementara itu kelebihan rukyat (observation), pertama, observasi merupakan metode ilmiah yang akurat. Hal itu terbukti dengan berkembangnya ilmu falak (astronomi) pada zaman keemasan Islam. Para ahli terdahulu mengalami pengamatan secara serius dan berkelanjutan, yang akhirnya menghasilkan zij-zij (tabel-tabel astronomi) yang terkenal dan hingga kini masih menjadi rujukan, seperti Zij al-Jadid karya Ibnu Shatir (1306 M/706 H) dan Zil Jadidi Sultani karya Ulugh Beg (1394-1449 M/797-853 H).
Kedua, Galileo Galilei (1564-1642 M/972-1052 H) adalah perintis ke jalan pengetahuan modern. Ia menggunakan observasi untuk membuktikan suatu kebenaran.
Kelemahan Rukyat
Kelemahan rukyat, pertama , hilal pada tanggal satu sangat tipis sehingga sangat sulit dilihat oleh orang biasa (mata telanjang), apalagi tinggi hilal kurang dari dua derajat. Selain itu ketika matahari terbenam (sunset) di ufuk sebelah Barat masih memancarkan sinar berupa mega merah (asy-syafaq al-ahmar).
Mega inilah yang menyulitkan melihat bulan sendiri dalam kondisi bulan mati (newmoon). Kecerahan atau kuat cahaya hilal fase pertama tidak sampai 1 % dibanding cahaya bulan purnama (full moon). Cahaya hilal sangat lemah dibandingkan dengan cahaya matahari maupun cahaya senja, sehingga teramat sulit untuk dapat mengamati hilal yang kekuatan cahayanya kurang dari itu.
Kedua, kendala cuaca. Di udara terdapat banyak partikel yang dapat menghambat pandangan mata terhadap hilal, seperti kabut, hujan, debu, dan asap. Gangguan-gangguan ini mempunyai dampak terhadap pandangan pada hilal, termasuk mengurangi cahaya, mengaburkan citra dan mengaburkan cahaya hilal. Dengan demikian kondisi cuaca adalah faktor yang dominan mempengaruhi keberhasilan rukyatul hilal.
Ketiga, kualitas perukyat.
Keempat, kalau menggunakan istikmal, mungkin saja bulan sudah ada. Artinya kalau memenuhi perintah teks hadits, yaitu misalnya tidak berhasil melihat hilal , maka hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Padahal menurut perhitungan ilmu falak (astronomi) pada tanggal 30 itu hilal sudah berada di atas ufuk (horizon), berarti penanggalan bulan baru sudah bisa dimulai.
Sidang Isbat : Sebagai langkah Perdamaian Hidab dan Rukyat
Sidang isbat Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha diselenggarakan oleh pemerintah sejak tahun 1950 dengan tujuan menetapkan hari pertama Bulan Ramadhan, Syawal, dan tanggal 10 Dzulhijjah. Pada awal penyelenggaraannya, sidang ini hanya sederhana dengan didasarkan fatwa para ulama bahwa negara punya hak untuk menentukan datangnya hari-hari tersebut.
Kemudian mulai tahun 1972, Badan Hisab Rukyat (BHR) mulai dibentuk di bawah Kementerian Agama. Di dalamnya terdapat para ahli, ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberikan informasi, memberikan data kepada Menteri Agama tentang awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sidang ini diadakan satu hari sebelum hari yang diperkirakan sebagai awal bulan yang dimaksud. Dalam sidang ini, dihadirkan berbagai ulama, tokoh, dan organisasi masyarakat di Indonesia. Dan pada tahun 2013, juga direncanakan hadirnya perwakilan negara lain yang akan menjadi saksi dan memberi pandangan mengenai penentuan tanggal penting ini.
Sidang akan diawali dengan pemaparan mengenai posisi hilal atau bulan pada petang hari di sejumlah daerah oleh anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI dari Planetarium. Kemudian berbagai perwakilan Ormas dan Ulama yang menggunakan berbagai metode dalam menentukan datangnya hari suci akan bermusyawarah untuk menentukan dengan kesepakatan bersama. Setelahnya pemerintah mengumumkannya sebagai sebuah keputusan yang disahkan negara. Namun Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama sendiri mengakui bahwa keputusan ini tidaklah mengikat, sehingga setelahnya bisa saja pihak tertentu tetap meyakini tanggal yang berbeda.
Wallohu a’lam
Ngubaidillah.,M.Pd
Bandung, 14 Juni 2018 / 29 Ramadhan 1439 H
Refernsi :
1. A. Ghozali Masroeri,(2008) ”Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya”, disampaikan dalam Musyawarah Kerja dan Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI di Ciawi Bogor
2. Kumpulan makalah Seminar Hilal Nasional 2009, “Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalender Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah”, Bosscha-Bandung,
3. Musa al-Azhar, “Mengenal Kalender Hijriyah”, dalam Suara Muhammadiyah,
4. Susiknan Azhari, (2007). Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
5. Thomas Djamaluddin.(2000) "Visibilitas Hilal di Indonesia", dalam Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4,