بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
اللَّÙ‡ُÙ…َّ صَÙ„ِّ عَÙ„َÙ‰ Ù…ُØَÙ…َّدٍ
Pengertian perwalian dalam istilah fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Mengenai perwalian ini mayoritas ulama membagi wali menjadi tiga macam,
1. perwalian atas barang,
2. perwalian atas orang,
3. dan perwalian atas barang dan orang secara bersama-sama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berkenaan dengan perwalian dalam pernikahan menjelaskan secara lengkap dan keseluruhannya mengikuti fiqh madzhab jumhur ulama, khususnya syafi’iyah.
Pasal 19: “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun-rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.”
1. Syarat Wali Nikah
Pasal 20: 1. yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, baligh. 2. Wali nikah terdiri dari wali nasab, dan wali hakim
2. Urutan Wali
urutan wali sebagai berikut:
1) Ayah;
2) Kakek;
3) Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung);
4) Saudara laki-laki seayah;
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
7) Paman sekandung;
8) Paman seayah;
9) Anak laki-laki dari paman sekandung;
10) Anak laki-laki dari paman seayah;
11) Hakim.
Ini merupakan urutan wali yang berhak menjadi wali dalam pernikahan, jika seseorang menjadi wali pernikahan sementara hadir wali yang lebih dekat maka pernikahannya tidak sah, karena menurut ulama Syâfi’îyah hak wali merupakan hak ‘ashabah sebagaimana menyerupai hak waris.
2. Jenis Wali dalam Pernikahan
Dari segi kekuasaan wali dikelompokan:
a. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak untuk menikahkan seseorang dibawah perwaliannya dengan tidak perlu memintan izin atau kerelaan yang bersangkutan.
b. Wali ghayr mujbir
adalah seseorang yang mempunyai hak menjadi wali atas seseorang yang berada di bawah perwaliannya, akan tetapi tidak mempunyai hak untuk memaksa.
Dari segi jaraknya, wali dikelompokkan:
a. Wali Aqrab
Wali dekat atau wali qarib adalah ayah dan kalau tidak ada ayah maka pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Kedua ini juga disebut sebagai wali mujbir
b. Wali Ab’ad
Wali jauh atau wali ab’ad adalah wali dalam garis kerabat selain dari ayah atau kakek, juga selain anak dan cucu. Menurut jumhur ulama anak tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim.
Dari segi jenisnya, wali dibagi menjadi
a. Wali Nasab
adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutabn wali nasab terdapat perbedaan pendapat diantara ulama fikih. Imam malik mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas ashabah, kecuali anak-laki dan keluarga terdekat lebih berhak menjadi wali
b. Wali Hakim
adalah wali nikah yang di ambil dari hakim, pejabat pengadilan atau aparat KUA atau penguasa dari pemerintah jika seorang wanita tidak mempunyai wali atau walinya enggan menikahkannya. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: a) Kepala pemerintahan b) Penguasa, pemimpin pemerintahan atau qadi nikah yang di beri wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Pasal 23 KHI:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.
2. Dalam hal wali adhol atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut
c. Wali Tahkim
Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
Wali tahkim terjadi apabila, Wali nasab tidak ada, Wali nasab gaib, atau berpergian sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya dan Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR)
d. Wali Maula
yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di maksud adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya. Dan Allah tidak melarang mereka yang menikahkan budak perempuan untuk dirinya sendiri atas dasar suka sama suka dan saling merelakan antara keduanya.
Wallohu a’lam
Banyumas, 11 Juli 2020
Ngubaidillah,M.Pd
Rohmat, 2011, AL-‘ADALAH Vol. X, Kedudukan Wali Dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah, Dan Praktiknya Di Indonesia
Siti Nurjanah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Wali Hakim Akibat Wali Nasabnya Adhal (Studi Analisis Putusan PA Serang No. 0401/Pdt.P/2017/PA.Srg). Jurnal UIN Banten