بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
اللَّÙ‡ُÙ…َّ صَÙ„ِّ عَÙ„َÙ‰ Ù…ُØَÙ…َّدٍ
Oke... Obrolan kali ini datang dari akun Instagram/Fakurly
Beliau bernama Fitria Anis Kurly yang punya kesempatan menjadi Guru di Polandia
Di konten NGOPI (Ngobrolin Pendidikan) kali ini
Dalam suatu rapat, Bu Fitria bertanya ke Pani Monika (Kepala Sekolah)
“Kenapa guru-guru termasuk saya tidak membuat RPP di sekolah?”
Kemudian dijawab
1. Kami tidak mempekerjakan guru untuk menghabiskan waktunya lebih banyak di depan laptop mengurus hal lain dibanding dengan menghabiskan waktu bersama anak2. Kenapa saya harus meminta hal-hal yang guru sudah tau apa yang harus dilakukannya di dalam kelas? Guru-guru yang ada di sekolah sudah bertahun-tahun mengajar, jadi sudah punya cara dan metodenya masing-masing. Untuk itu juga tidak pernah ada yang namanya evaluasi guru, karena kita harus percaya satu sama lain. Di sekolah ini hubungan dan rasa percaya adalah dua hal yang penting3. Yang kami harapkan dari proses belajar adalah kebebasan dan inovasi, biarkan mengalir sesuai kondisi dan kebutuhan anak-anak di kelas. Guru harus punya banyak pilihan dalam proses mengajar, begitu juga murid harus punya pilihan-pilihan yang sama
Nah... komentar saya
1. Pendidikan di Indonesia terbelenggu dengan kebijakan ini itu.
2. Sekolah maupun guru diminta untuk inovatif tapi kebijakan klasik kurang mewadahi, terutama kebijakan administratif
3. RPP atau administrasi lainnya hanya bersifat teoritis, yaitu SEBAIKNYA guru ini itu
4. Namun faktanya, guru mengajar tidak berpatokan RPP apalagi sampai mengajar sambil memegang RPP
5. Sedangkan kewajiban memiliki RPP seperti untuk akreditasi sekolah atau lainnya didapatkan dengan cara DOWNLOAD di google atau BELI yang sudah jadi, bahkan fatalnya belinya ini diakomodir oleh sekolah. Sehingga jelas sekali ini hanya permainan belaka. Bagaimana RPP itu mau dipelajari, la wong beli udah jadi tinggal ganti identitas
Oke yuk liat komentar-komentar netizen +62 pilihan dari video tersebut