بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
Dalam menemukan atau membuktikan
adanya Tuhan, setidaknya ada tiga argument yang dikemukakan oleh para filosof
yang berhubungan dengan alam semesta serta keberadaannya. Ketiga argument
tersebut yaitu argument Ontologis,
argument Kosmologis dan argument Teleologis.
Berbicara mengenai teori ketuhanan
para filosof Arab mewarisis teori khusus dari para filosof Yunani, seperti
Aristoteles, Plato dan Plotinus. Salah satu contoh argument yang dilontarkan
oleh Aristoteles yang mengatakan Tuhan sebagai “penggerak yang tidak bergerak”, sebab pertama bagi seluruh alam
wujud. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan pasti ada, sebab metafisikanya adalah
eksistensi. Menurut pendapat
Aristoteles mengenai pembahasan segala Maujud dari segi eksistensinya, Tuhan itu Maujud yang tertinggi ialah yang Maujud
mutlak ada.
Filosoh Islam yang muncul pertama kali
pada abad ke sembilan belas Masehi adalah al-Kindi dan kemudian diikuti dengan
filosof-filosof Islam yang lain seperti Ar-Rozi, al-Farabi, Ibnu Sina dan yang
lain-lainnya.
Filsafat Ketuhanan Menurut Ibnu Sina
Terdapat perbedaan antara pemikiran
para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antara
qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan
alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung
pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak
qadim.“Perbuatan Ilahi” dalam
pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak berkelanjutan (ghairi
mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada
lagi yang baharu. Menurut Ibnu Sina, tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru,
tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat
dzat-Nya yang baru. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna
sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah
alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan
Kedua,
perbuatan Illahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan
hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum
kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah “memberi wujud”
dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan
beberapa nama, seperti : shudur
(keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wajib anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina
untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di
persimpangan jalan antara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama
dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah
ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke
arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Esensi dalam paham Ibnu Sina, terdapat dalam akal,
sedang wujud itu diluar dari akal. Ibnu Sina mengombinasikan antara wujud dan esensi sebagai berikut:
a. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud
b. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak mempunyai wujud
c. Esensi tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud adalah
sama dan satu.9
Pengaruh Plato pada Ibnu Sina
Selanjutnya dari Yunani kita juga menemukan teori ketuhanan
Teori ketuhanan yakni, teori dari Plato dan Neo-Platonisme
(Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah “Esa”, dan dari yang Esa itu
melimpah al-‘Aqlul Awal (First Mind, akal pertama) kemudian an-Nafsul Kulliyah (Universal Soul, jiwa
keseluruhan), lalu al-Hayula
(Primordial Matter, benda pertama, Nature atau Alam). “Yang Esa” adalah sebutan
nama Allah dan termasuk dalam al –Asma’ul Husnah. Akan tetapi, “Yang Esa”
menurut pengertian metafisik pada dasarnya berbeda dengan pengertian metafisik eksistensi yang di kumandangkan oleh
Aristoteles.
Teori Plato berbicara tentang “pelimpahan” (faidh), yakni alam itu keluar dari Tuhan sebagai keharusan, ibarat
cahaya keluar dari matahari. Jadi, Tuhan tidak mempunyai kelebihan yang berupa
kesanggupan pencipta.
Filosof muslim yang mengikuti teori dari Plato adalah Ibnu Sina.
Dimulai dari metafisika Ibnu Sina yang menjadi ontologi dari kajian terhadap wujud serta seluruh distingsi
mengenainya itulah yang menempati peran sentral alam spekulasi – spekulasi
metafisikanya. Hakikat sesuatu (reality
of thing) tergantung pada eksistensinya
dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya adalah pengetahuan terhadap
status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi universal yang menentukan
seluruh atribut dan kualitasnya. Segala sesuatu di dalam semesta (universe),
berdasarkan kenyataan bahwa ia ada (exist), dimasukkan ke dalam wujud (being).
Kajian Ibnu Sina atas eksistensi-eksistensi yang dimiliki bersama oleh
segala sesuatu tanpa sama sekali mereduksi wujudnya pada genre yang umum di
antara sesuatu itu tidak bisa dilepaskan dari dua distingsi fundamental yang
mencirikan seluruh gagasan ontologinya.
Distingsi ini berkaitan dengan esensi atau kuiditas
(Mahiyah)
sesuatu dan eksistensinya (wujud) di
satu sisi, serta keniscayaan, kemungkinan dan kemustahilannya di sisi lain.
Kapanpun orang yang berpikir tentang sesuatu, dengan serta
merta, dalam kerangka pikirannya, ia akan dapat membedakan antara dua aspek berbeda
pada sesuatu itu yaitu,esensi atau kuaditasnya, (quid est atau Mahiyah) dan eksistensi.
Esensi adalah jawaban atas pertanyaan apakah sesuatu
itu?, dengan kata lain esensi adalah benda itu sendiri. Sedangkan Eksistensi dimisalkan ada orang yang
memikirkan tentang sebuah mobil. Dalam pikirannya ia akan dapat membedakan
antara gagasan tentang kuda tersebut atau kuiditas
nya yang meliputi keadaan, bentuk, warna dan segala hal yang membentuk esensi mobil tersebut, dengan eksistensi mobil itu dalam dunia eksternal.
Di dalam pikiran kuiditas tidak terikat dengan eksistensi, dalam artian bahwa orang dapat memikirkan atau
membayangkan kuiditas sebuah objek tanpa sama sekali memperhatikan
apakah ia ada atau tidak. Tapi dalam dunia eksternal, kuiditas dan eksistensi setiap objek adalah sama.
Keduanya bukan merupakan komonen yang berbeda dan digabung untuk membentuk
sebuah objek.
Setelah membuat setelah membuat pembedaan dasar, Ibnu Sina
menegaskan bahwa sekalipun eksistensi
sesuatu ditambahkan kepada esensi nya,
eksistensilah yang memberikan
realitas kepada setiap esensi , atau kuiditas , dank arena itu ia merupakan
prinsip (ashl). Kuiditas setiap sesuatu pada hakikatnya tidak lebih
dari limitasi ontologisnyay ang
diabstraksikan oleh pikiran.
Yang terkait erat dengan distingsi
mendasar antara kuiditas dan eksistensi
adalah pemilahan Ibnu Sina atas Wujud (Being),
menjadi tidak Mungkin (Mumtani’),
Mungkin (Mumkin) dan Niscaya (Wajib).
Bagi Ibnu Sina dalam pembuktian eksistensi Tuhan cukup mengambil satu dalil pokok,
yaitu dengan menyerukan teori “Wujudiyah”. Meskipun tidak dinafikan bahwa
makhluknya juga dapat menjadi bukti atas wujudnya.
Konsep Wujud (being)/ ada
Kata “Wujudiyah” berasal dari bahasa arab “Wujud” (وجود)
yang berari “ada”. Dalam cara ini, dia membuat sebuah perbedaan antara
“makhluk” dan “ada”. Tuhan, kata Ibnu Sina adalah satu-satunya pengetahuan
murni dan kebaikan murni, dan adanya sebagai “Wajibul Wujud” (tidak bisa tidak, Tuhan pasti ada).
Ia menyerukan teori ini setelah pembagian rasional mengenai soal
“Wujud” (ada, eksistensi) menjadi
“Mumtani’” (ممتنع), “Mumkin” (ممكن)
“Wajib” (واجب). Meskipun bukan Ibnu Sina sendiri yang
sepenuhnya menemukan teori ini, namun sekurang-kurangnya dalam teori tersebut
ia dapat dipandang mempunyai keistimewaan tersendiri.
Mumtani’ (ممتنع)
adalah Mahiyah yang tidak bisa wujud
dalam alam raya ini. Tegasnya sesuatu yang mustahil wujud, seperti adanya
kosmos lain disamping kosmos kita ini. Mumtani’ Al Wujud adalah esensi yang tidak dapat mempunyai wujud. (terlarang).
Mumkin (ممكن) adalah Mahiyah yang bisa mempunyai wujud.
Tegasnya, sesuatu yang mungkin berwujud, tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya, hewan, tumbuhan, dan lain-lain yang Mahiyahnya boleh mempunyai wujud dan boleh tidak. Contoh lain
adalah alam raya ini yang semula tidak ada menjadi ada dan akhirnya hancur
menjadi tidak ada lagi.
Wajib (واجب) adalah Mahiyah yang tidak dapat dipisahkan dari
wujudnya atau Mahiyah yang tidak
boleh tidak mesti mempunyai wujud. Keduanya adalah sama dan satu. Di sini Mahiyah tidak dimulai oleh tidak wujud
dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya Mahiyah
dalam kategori mumkin, tetapi hamiyah (esensi)
wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Inilah yang disebut necessery being, wujud
yang mesti ada, yakni Tuhan.
Wajibul
Wujud adalah yang mewujudkan Mumkinul Wujud atau yang menjadi sebab bagi
segala wujud lain. Tiap yang ada pasti mempunyai esensi (Mahiya, Quiddity) di
samping Wujud. Diantara Wujud dan Mahiyah,
Wujudlah yang lebih penting, karena Wujudlah yang membuat Mahiyah menjadi ada dalam kenyataan. Mahiyah hanya terdapat dalam pikiran atau akal, sedang Wujud
terdapat dalam alam nyata, di luar fikiran atau akal.
Dalam kitab An-Najat
Ibnu Sina mengatakan sebagai berikut:
“Sesuatu ada yang dibutuhkan, adalah keadaan
yang masuk akal, bukanlah mustahil. Ada dibutuhkan ini, adalah Tuhan yang maha
Esa. Segala ada yang lain itu adalah mungkin. Adapun makhluk adanya itu
sebagian diperlukan dan sebagianya tidak diperlukan, yang dalam dirinya
sendiri, mungkinatau boleh jadi adanya, akan tetapi ia diperlukan mereka ini
adalah mempunyai akala yang terpisah (separate intelegence) antara yang satu
dengan yang lain”.
Konsep wajibul
wujud ( keharusan “ada” )
Selanjutnya Ibnu Sina dalam menjabarkan teori wajib al wujudnya
ini Ibnu Sina lebih dalam lagi membaginya menjadi wajib al wujud bi dzatihi dan wajib
al wujud bi ghairihi.
Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya
semata, mustahil jika tidak ada atau wujud yang sama sekali mungkin tanpa ada
sifat niscaya yang dipasangkan padanya.
Kategori yang ke dua ialah wujudnya terikat dengan sebab adanya
sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah jelaslah masuk dalam
kategori yang pertama karena mustahil Allah memerlukan sesuatu untuk adanya.
Allah-lah asal dari semua yang ada.
Yang dimaksud dengan ”Wajibul
Wujud Bidzatihi” (wajib ada dengan zatnya) ialah sesuatu yang adanya itu
tidak tergantung dengan adanya sebab yang lain, dan karena itu pula wajubul
wujud bidzatihi ini hanya khusus mengenai tuhan saja. Khusus untuk Wajibul
Wujud Bidzatihi ibnu sina memakai istilah Al
- Mabdaul Awwal atau Awwal.
Yang dimaksud dengan Wajibul
Wujud Bighairihi (wajib ada dengan yang lainnya) ialah sesuatu yang adanya
itu berasal dari Sesutu benda lain dari pada dzatnya sendiri hal ini meliputi
semua makhluk. Misalnya : hasil dari penjumlahan antara 4 dan 2 adalah 6, jadi
adanya 6 adalah hasil dari adanya 4 dan 2. Seperti juga, keadaan kebakaran,
tidak mungkin ada kebakan tanpa adanya apai dan benda yang terbakar. Jika api
dan benda yang terbakar itu tidak bersama-sama tidak mungkin ada kebakaran.
Konsep mumkinul
wujud ( ada yang mungkin )
Adapun Mumkinul Wujud dibagi menjadi, Mumkinul Wujud Bidzatihi (mungkin wujud dengan zatnya) dan Mumkinul Wujud Bighairihi (mungki wujud
dengan lainya).
Yang dimaksud dengan Mumkinul
Wujud Bidzatihi adalah sesuatu yang terbayang adanya dan tidak adanya bukan
karena yang lain. Jadi sama atau disebut juga wajibul wujud bighairihi, yaitu
sesuatu yang terbayang adanya dan tidak adanya karena zatnya sendiri bukan
karena yang lain.
Yang dimasud dengan Mumkinul
Wujud Bighairihi ialah sesuatu yang terbayang karena atau sebab adanya yang
lainnya. Misalnya, adanya manusia yang terlahir di dunia dikarenakan mungkin
adanya pembuahan antara sperma dan ovum. Atau mungkin suatu pohon apel adalah
sebab dari adanya apel yang jatuh ke tanah. Di samping itu Mumkin juga dibagi
kepada abadiyah dan haditsah (baru), atau khalidah dan faniyah.
Konsep substansi dan aksidensi dari hal
yang ada (being)
Selain membagi teori wujud menjadi beberapa sifat yakni wajib,
mumkin dan mumtani’, Ibnu Sina juga membagi wujud sesuai dengan “apakah ia
merupakah subtansi atau aksidensi”, yang diterapkan pada kuiditas benda-benda yang
ada berdasarkan kategori-ategori Aristotelian sebagaimana disistematisir oleh
Prophiry.
Menurut pembedaan ini kuiditas
bisa menjadi aksiden atau substansi,
tergantung pada “apakah ia terkait dengan
sesuatu yang lain,” seperti warna pada sebuah tembok, “atau tidak
bergantung,” seperti tembok itu sendiri. Kategori substansi sendiri terbagi
menjadi tiga macam, yakni
a. Intelek
(‘aql) yang sepenuhnya terlepas dari materi dan potensialitas.
b. Jiwa
(nafs) yang sekalipun terlepas dari materi tapi butuh pada tubuh untuk
bertindak.
c. Tubuh
(jism) yang bisa dibagi dan memiliki panjang, lebar dan luas.
Karena itu, elemen-elemen semesta yang tergantung dan mungkin
dalam totalitasnya, juga terbagi menjadi tiga substansi yang terdiri dari
berbagai tataran kosmos dan membentuk unsur-unsur pokok yang darinya semesta
diciptakan dan dalam istilah-istilah yang membuat ilmu-ilmu tentang wilayah kosmik
dapat dipahami. Setelah itu Ibnu Sina meneruskan kajian ini pada Kosmologi dan
Kosmogoni.
Dalam bentuk lain penjelasan filsafat ini dapat diberika sebagai
: Makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab
dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akan
mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai
wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud
di luar diri-Nya yaitu Tuhan.
Dengan demikian yang mempunyai wujud sebenanrnya hanyalah Tuhan
dan wujud yang dijadikan ini hakekatnya benrgantung pada wujud Tuhan. Yang
dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. tegasnya wujud hanyalah satu yaitu
Tuhan. Wujud selain Tuhan adalah wujud banyangan.
Berdasarkan jalan pikiran semacam ini, Ibnu Sina menyimpulkan
bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui
zat-Nya sekaligus. Bukti ontologis
ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisis.
Demikian sekilas pemikiran dari Ibnu Sina terkait Filsafat
Ketuhanan. Ambil hikmahnya dari Ibnu Sina, yang tidak cocok tinggalkan. Bagaimanapun
juga, beliau telah mengharumkan Islam dan diakui oleh seluruh peradaban dunia,
sehingga mendapat gelar Bapak Kedokteran dengan nama lain AVICENNA. kalau kita tidak setuju dengan pemikiran beliau, lalu
menghina beliau, siapa kita? Punya peran apa kita terhadap Islam?
Kesimpulanya
1. Dengan
filsafat, kita semakin yakin dengan adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala
2. Sehingga
kita semakin taat kepada-Nya, melalui tuntunan Rasulullah
3. Kita
semakin terbuka wawasan akal, sehingga semakin kritis, tidak hanya taqlid buta
4. Jangan
mudah mengkafirkan sesrorang hanya
karena pemikiranya berbeda. Sebagaimana Rasulullah memarahi sahabat yang
membunuh musuh walaupun sudah menucapkan tahlil.
5. Kita
berdoa kepada Alloh agar dikaruniakan Iman yang permanen
Baca juga : Biografi Ibnu Sina
Wallohu a’lam
Ngubaidillah.,M.Pd
Bandung,
25 Juni 2018
Referensi :
Ahmad Fuad Al-Ahwani(1993), Filsafat Islam Jakarta: Pustaka Firdaus
Harun Nasution (1995), Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Harun Nasution(1983), Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang
Sayyed Hossein Nasr,(2006). Tiga Madzahb Utama Filsafat Islam, Jogjakarta:IRCiSoD
Sayyed Husein Nasr(1986), Tiga Pemikir
Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Bandung : Risalah Bandung,
Omar Amin Hoesin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Tarsan Hamin Rois(1986), Filsafat Umum, Surabaya: Kopmafush
Jawasun (1995). Falsafah Ibnu Sina: Wa At
Saruhuma Fi Uruwiyah Khilali Alquruni Al Wusto,Kairo: Darul ‘Ilmi
Hamzah Ya’qub (1984), Filsafat Ketuhanan, Bandung: Al Ma’arif
Poerwantara(1994), Seluk Beluk Filsafat Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya,