Kritik Terhadap Pendidikan Pesantren







Bismillah
Allohumma shalli ‘ala Muhammad


kali ini penulis ingin membahas kelemahan pendidikan non-formal. Lembaga pendidikan formal banyak jenisnya, sesuai pengalaman dan penelitian, penulis akan membahas tentang Pondok Pesantren.
Sebelumnya penulis akui, bahwa pendidikan terbaik saat ini adalah pesantren, karena sangat cintanya penulis kepada pesantren, penulis akan uraikan berbagai kelemahan pesantren tanpa menyebut nama pesantren, artinya secara umum. Jadi penulis berharap akan terjadi perubahan, sehingga pesantren benar – benar menjawab tantangan zaman

Pondok pesantren pun ada dua jenis, yaitu klasik atau salafiyah, dan modern atau ‘ashriyyah.
Pondok modern sebenarnya adalah sebuah anti-tesis dari kekurangan pesantren klasik, contohnya Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Bogor. Akan tetapi, sampai detik ini, masih banyak pesantren yang tetap mempertahankan keklasikanya, meminjam istilah bung Karno “kekolotannya”.

Kebetulan penulis juga bergelut di dunia pesantren sejak kecil, di pesantren klasik maupun modern. Di sini penulis akan menjelaskan kelemahan pesantren, terutama yang klasik, karena penulis melihat, masih banyak kekuranganya yang kemudian bisa menjadi masukan pihak terkait. Tulisan ini justru menjadi wujud cinta penulis ke pesantren

A. Kepemimpinan

1. Pesantren sangat mengedepankan kepemimpinan karismatis, yaitu sangat menjunjung tinggi kehormatan kyai nya, tanpa menggunakan kepemimpinan sistematis
2. Sehingga beresiko untuk dikultuskan
3. Dengan dalih mengambil berkah tapi hanya dengan meminum air di gelasnya, bukan dengan mencontoh kesungguhannya dalam berfikir, zuhudnya, optimisnya, kritisnya dan sebagainya
4. Menganggap pesantren adalah milik dinastinya, bukan milik umat. Sehingga tertancapnya sistem monarki didalam republic
5. Daya pengaruhnya sering disalahgunakan oleh politisi, apalagi ketika mendekati pemilu
6. sehingga hidup matinya pesantren, seiring dengan hidupnya sang kyai
7. banyaknya pesantren yang santrinya berkurang bahkan tutp karena kyainya meninggal dunia


B. Kurikulum

1. Santri baru sangat susah untuk belajar langsung ke kyainya, paling tidak harus menunggu 4 tahun
2. Keilmuan didominasi ilmu agama, tidak melirik ke ilmu sosial, sains bahkan teknologi. Jadi mengesankan Pesantren hanya berkutat soal agama, padahal majlis ilmu di Dinasti Absyah membahas sampai ke astronomi,kedokteran, dan sebagainya
3. Juga jarangnya materi softskill. Yang sebenarnya sangat dibutuhkan santri ketika sudah lulus. Seperti kemampuan kewirausahaan, marketing, blogging, teknisi, dan sebaginya. Sehingga ketika santri lulus, tidak hanya mengandalkan ceramah sebagai mata pencahariannya.
4. Ilmu agama pun didominasi oleh Fiqih, dimana Fiqih hanya berbicara halal – haram, sehingga menurut bung karno, ilmu ini hanya akan menghakimi masyarakat. Sehingga pemikiran santri nantinya hanya menghakimi

5. Ilmu Fiqih pun hanya berkutat pada satu madzhab, yaitu madzhab syafi’i. padahal di luar pesantren banyak sekali sekelompok masyarakat yang tidak menggunakan madzhab syafi’i. sehingga santri akan kaget, dan tragisnya akan menganggap dirinya paling benar.
6. Jadi seharusnya diajarkan fikih perbandingan
7. Ilmu fiqih adalah produk hukum, pesantren klasik jarang sekali yang mengajarkan bagaimana dalam mengambil hukum, yaitu ilmu ushul fiqh. Sehingga ketika santri bertemu dengan permasalahan kontemporer kesusahan dalam menggunakan dalil

8. Ilmu fiqih didominasi oleh Fiqih Ubudiyah, yaitu fiqih ibadah tentang taharah, shalat, puasa dan sebagainya. Hal ini tercermin dari berbagai kitab yang digunakan dari kelas dasar sampai kelas atas, fiqih ubudiya itu selalu diulang-ulang. Padahal fiqih ubudiyah bersifat statis. Yang artinya menurut Prof. Dr. Didin kajianya lebih luas Fiqih Muamalah, karena lebih dinamis dan reasonable. Hal ini terbukti, jarang sekali kitab yang digunakan, khusus membahas fiqih muamalah, biarpun dikaji, tapi hanya bersifat cuplikan, itu saja di bagian belakang. Kenyataanya, transaksi muamalah dalam keseharian lebih banyak daripada ubudiyah. ( 15 jam : 1 jam ). baca selengkapanya di : kenapa harus mempelajari fiqih muamalah

9. Ibnu Khaldun dalam muqaddimah mengkritisi pendidikan di umat Islam, hanya berkutat pada Bahasa arab dan kaidahnya yaitu nahwau sharaf. Penulis pun heran, hampir semua pesantren klasik di Indonesia masih seperti itu. Hampir sepanjang hidup di pesantren hanya mengaji nahwu sharaf. Padahal nahwu sharaf hanya sebagai alat untuk memahami Qur’an dan Hadits untuk melebarkan sayap ke berbagai disiplin keilmuan lain

10. Tidak menjadikan Bahasa arab sebagai Bahasa komunikasi, apalagi Bahasa asing lainya.
11. Sehingga santri yang sudah fasih membaca kitab kuning, tapi kesusahan dalam berdialog dengan Bahasa arab. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu penguji lomba membaca kitab kuning “soal membaca mereka tidak diragukan, tapi ketika menjelaskan, mereka sangat disayangkan”
12. Muhammad Abduh mengkritisi, pendidikan di umat Islam yang ditekankan hanya “hafalan”. Biarpun santri tanpa mengerti apa yang dihafalkan, pokonya harus hafal. Sehingga hal ini terkesan meniadakan akal sebagai pemahaman.

13. Dalam hafalan, selalu kitab nahwu yang dibanggakan, seperti alfiyyah Ibnu Malik. Padahal sesuai penelitian, santri yang sudah hafal, pasti lupa ketika sampai di rumah. Dilain itu, apakah alfiyyah Ibnu Malik akan bisa menjawab segala problematika era digital?, jadi menurut hemat penulis, Alfiyyah Ibnu Malik, cukup dipahami saja. Sedangkan yang harus dihafalkan adalah Qur’an.
14. Soal Qur’an ini yang penulis sayangkan. Pertama, jarang pesantren klasik yang mewajibkan santrinya menghafal qur’an, kedua, jarangnya kajian tafsir Al qur’an, biarpun ada, pasti berkutat pada tafsir jalalain yang kembali lagi berkutat pada penafsiran Bahasa. Ketiga, tidak mau menerima penafsiran yang berlandaskan filosofis dan logis seperti tafsirnya Zamakhsyari, tasir sosial dari Tafsir Al manar Rashid Ridha atau tafsir kontemporer asli produk Indonesia yaitu Tafsir Al Mishbah Prof. Quraish Shihab.

Dengan seperti ini, santri akan semakin berwawasan luas, sehingga tidak fanatisme buta.
15. Jarang juga mengkaji hadits, biarpun mengkaji hadits tidak berdasarkan ulumul hadits. Sehingga taunya santri, apa yang ada di kitab semuanya hadits, dan berasal dari Rasulullah, dan tragisnya lagi, masih banyak digunakan hadits dhaif sebagai hujjah. Bisa dibilang, pesantren klasik lembaga yang sukses memproduk hadits dhaif. Hal ini karena tidak dipelajarinya ulumul hadits
16. Sehingga, santri kalah bertanding dengan kaum modernis yang hafalan qur’annya kuat, dan refernsi haditsnya shahih. Dampaknya santri hanya menggerutu di belakang.

17. Sehingga mereka kesusahan melawan tuduhan “bid’ah” dari kaum modernis, karena tduhan mereka berdasarkan dalil shahih, sedangkan santri membuka kitab klasik yang didalamnya banyak hadits dhaif.
18. Karena "menurut bung karno" selama ini belajarnya secara taqlid buta. Mengikuti apa saja yang dititahkan oleh ustadznya, apalagi kyainya. Padahal ketika santri berbeda paham dengan guru, bukan lah sebuah kedurhakaan. Lihat saja Imam Syafii berbdeda paham dengan Imam Maliki, Imam Syafii diselisihi oleh Imam Hambali.
19. Sehingga ustdadz atau kyai, tidak bisa mencetak santri yang bisa menandingi keilmuannya atau kesalihanya. Padahal guru terbaik adalah yang bisa menciptakan guru lebih baik

20. Pesantren menjadi korban dari kecelakaan sejarah karena gagal paham isi kitab Imam Ghazali “Tahafut Al Falasifah”, yang menganggap filsafat adalah sesat. Sehingga filsafat terlempar jauh dari pesantren. Padahal filsafat adalah kunci kejayaan Islam setelah Qur’an dan Hadits. Sehingga akal santri hanya digunakan untuk menghafal “halal – haram”, sehingga kurang bijak dalam menilai, sebagaimana arti filsafat “cinta kebijaksanaan”
21. Setelah lari dari Filsafat, justru pesantren melestarikan tasawuf ajaranya Al Ghazali. Tragisnya mengikuti Al Gazali hanya dari tasawufnya, tidak dari bagaimana Al Gazali juga ahli filsafat, ushul fiqih kimia, dan sebaginya.
22.Sehingga mengesankan, kaum santri adalah kaum lusuh pakaianya, kolot pikirannya yang hidup di era digital.
23. Banyak nya tradisi yang belum dirasionalkan, artinya tanpa dijelaskan kenapa santri harus melakukan itu.

C. Keuangan

1. Biaya yang mahal, sehingga menyebabkan banyak orang yang tidak jadi masuk pesantren karena biaya
2. Santri dengan kondisi ekonomi berbeda, disamaratakan. Tanpa ada inovasi beasiswa seperti pendidikan formal
3. Keuangan pesantren mengandalkan iuran dari santrinya
4. Jarang yang mempunyai unit usaha


Dari berbagai kelemahan di atas, bukan untuk diperdebatkan kebenaranya, karena bagaimana pun keadaan sekarang sudah menjadi bukti
a) Pesantren klasik dimana – mana berkurang santrinya, kecuali pesantren besar seperti tebu ireng, dsb
b) Bahkan banyak pesantren klasik yang tutup
c) Pesantren klasik sudah beralih fungsi menjadi Modern
d) Masyarakat lebih mengidolakan Pesantren Modern, walaupun dengan biaya tinggi
e) Pesantren klasik mengintegrasikan diri dengan pendidikan formal
f) Adanya stigma masyarakat, pulang pesantren mau jadi apa?. Artinya masyarakat ragu dengan ouput pesantren, sehingga
g) Lebih banyak peserta didik yang masuk SMK daripada pesantren.

Demikian beberapa kritik terhadap pendidikan pesantren, pesantren klasik khususnya. Penulis memohon maaf bila ada yang tersinggung. Hal ini semata – mata penulis uraikan, agar pesantren mau berbenah untuk menjawab tantangan zaman yang semakin mencekam.

Wallohu a’lam
Bandung, 30 Juni 2018
Prof. Dr. Ngubaidillah.,M.Pd

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top