بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
اللَّÙ‡ُÙ…َّ صَÙ„ِّ عَÙ„َÙ‰ Ù…ُØَÙ…َّدٍ
Setelah
sebelumnya dibahas tentang amalan ibadah yang dibolehkan bagi wanita haid,
(yang belum membaca, klik di sini), kali ini kita akan membahas mengenai amalan
ibadah yang masih diperselisihkan para
ulama bagi wanita yang sedang haid
1. Menyentuh mushaf
Diantara dalil
yang dijadikan sandaran dalam masalah menyentuh Al Qur’an adalah: Firman Allah
Ta’ala. َّ“Sesungguhnya Al Qur’an
adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (di Lauhul
Mahfudz). Tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan.”
(QS. Al Waqi’ah: 79)
Mayoritas
ulama bependapat orang yang berhadas
(baik hadas kecil ataupun besar) tidak diperbolehkan menyentuh Al Qur’an
berdalil dengan ayat diatas. Mereka menanfsirkan ayat tersebut dengan makna,
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang bersuci (yaitu suci dari
hadas).”
Saudariku, mari kita simak pendapat lain
tentang masalah ini. Para ulama yang membolehkan orang berhadas menyentuh
mushaf memberikan penjelasan yang tepat tentang penafsiran ayat di atas, yaitu:
“Tidak menyentuhnya (yaitu kitab yang
tersimpan di lauhul mahfudz) kecuali al muthahharun (orang yang disucikan yaitu
malaikat).” Demikianlah tafsir yang dijelaskan para mufassirin diantaranya
Ibnu Abbas, Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, Ad Dhahak dll.
(Tafsir Ibni Katsir) Penafsiran ini senada
dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Abasa, “Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang tinggi lagi disucikan,
ditangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa:
13-16) Demikianlah tafsir yang sangat jeli yang disampaikan Imam Malik dalam
kitab Muwaththa’ sebagaimana dinukil oleh Al Albani dalam Silsilah Huda wan
Nuur.
Ibnul
Qayyim menjelaskan sejumlah kekeliruan
pendapat yang melarang menyentuh mushaf Al Qur’an bagi orang yang berhadas
berdalil dengan surat Al Waqi’ah: 77-79 - Bahwsanya surat Al Waqi’ah adalah
surat makiyyah yaitu surat yang turun di kota Mekkah (sebelum hijrah). Dalam
surat-surat makiyyah mementingkan permasalahan pokok agama (ushuluddin)
diantaranya penetapan tentang tauhid, kehidupan akhirat, kenabian, dll. Adapun
permasalahan hukum-hukum syariat (seperti thaharah-pen) disebutkan dalam Surat
Madaniyyah (surat yang turun di kota Madinah setelah hijrah). Al Qur’an belum berbentuk mushaf tatkala turun
ayat ini, begitu pula selama hidup Rasulullah `, Al Qur’an belum berbentuk
mushaf. Al Qur’an mulai dibukukan ketika kepemimpinan khalifah Abu Bakar. Al maknun dalam ayat diatas berarti
tersimpan, tertutupi dari pandangan, tidak dijamah oleh tangan manusia.
Demikianlah makna yang disampaikan para salaf.
Illal muthahharuun
artinya ‘kecuali orang-orang yang
disucikan’. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan al mutathahhiruun (orang yang bersuci). Kalau seandainya yang
dimaksudkan adalah orang yang berhadas dilarang menyentuh Al Qur’an maka
lafalnya tentu berbunyi al mutathahhirun.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sesungghnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang
bersuci.” (QS. Al Baqarah: 222) Mutathahhirun
artinya orang yang bersuci dengan berwudhu. Adapun muthahharun artinya orang
yang disucikan oleh Dzat yang lain (malaikat yang disucikan oleh Allah Ta’ala).
(At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an, 1/140)
Dalil
selanjutnya yang dijadikan sandaran para
ulama yang melarang menyentuh mushaf bagi orang yang sedang hadas adalah
sebuah hadits dari Amr Ibn Hazm bahwasanya Nabi ` menulis surat kepada penduduk
Yaman. Di dalam surat tersebut tertulis,
“Tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” Sebagian ulama menilai
hadits ini lemah tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi ulama hadits lain
semisal Syaikh Al Albani menilainya shahih dalam Al Irwa’ (1/158).
Taruhlah
seandainya hadits ini shahih, maka lafadz “thahir” adalah lafadz yang memiliki
banyak makna (polisemi). Kata thahir memiliki sejumlah arti diantaranya: orang
mukmin, orang yang suci dari hadas besar, orang yang suci dari hadas kecil, orang
yang tubuhnya suci dari najis. Makna thahir tidak boleh ditentukan dengan
menunjuk salah satu makna kecuali dengan adanya indikasi yang kuat (qarinah).
Syaikh
Al Albani menegaskan, “Makna yang dekat dengan kebenaran –wallahu a’lam bahwasanya
maksud thahir yang disebutkan dalam hadits adalah orang mukmin baik yang sedang
tertimpa hadas besar, kecil, haid atau tubuhnya terkena najis.
Berdasarkan
sabda Nabi “Orang mukmin itu tidak
najis.” (Muttafaq Alaih) Maksud hadits di atas agar orang-orang musyrik
tidak menyentuh Al Qur’an sebagaimana disebutkan dalam hadits “Beliau ` melarang safar ke negeri kafir
dengan membawa Al Qur’an.” (Hadits shahih Muttafaq ’alaih).
Kesimpulan:
berdasarkan uraian diatas, diperbolehkan bagi orang yang berhadas menyentuh
mushaf. Meskipun demikian, menyentuh mushaf dalam keadaan suci tentu lebih
utama dan lebih mengagungkan Al Qur’an. Allahu a’lam Bagi saudari-saudari
kami yang ingin berhati-hati dalam memilih pendapat dan ingin keluar dari
khilaf ulama tentang memegang mushaf ini, bisa menempuh solusi berikut:
a. Membaca Al Qur’an dengan melihat
mushaf namun dengan memakai sarung tangan agar tidak bersentuhan langsung
dengan mushaf.
b. Membaca Al Qu’an dengan melihat
HP atau tablet yang terdapat aplikasi Al Qur’an. Memegang HP yang terinstal
apliaksi Al Qur’an tidak sama dengan memegang mushaf. Adapun pahalanya sama
dengan membaca sambil melihat mushaf.
c. Membaca Al Qur’an dengan melihat
buku-buku tafsir. Jumhur ulama berpendapat buku tafsir bukanlah mushaf karena
di dalam buku tersebut tercampur tulisan selain ayat Al Qur’an.
2.
Berada di dalam masjid
Jumhur
ulama dari imam empat madzab berpendapat bahwa orang junub, haid dan nifas
diharamkan berdiam diri di dalam masjid. Diantara dalil yang mereka bawakan,
hadits Ummu ‘Athiyah, “Agar para gadis,
perwan dan wanita haid keluar… sementara wanita haid menjauh dari tempat
shalat.” (HR. Bukhari No. 324 dan Muslim No. 890)
Jika
hadits ini melarang wanita haid menjauh dari mushalla (tempat shalat) maka
tentu larangan menjauh dari masjid lebih besar lagi.
Saudariku,
di sana juga terdapat pendapat lain yang tak kalah kuat yang mengatakan tidak
ada nash shahih (valid) dan sharih (jelas) yang melarang wanita haid dan nifas
untuk tinggal di dalam masjid.
Diantara
ulama yang menyatakan demikian adalah ulama dzahiriy. Mereka menyanggah
pendalilan di atas: Yang dimaksudkan mushalla dalam hadits adalah shalat itu
sendiri. Karena dahulu Nabi ` dan para sahabat melaksanakan shalat Id di tanah
lapang bukan di masjid. Dan setiap tanah adalah masjid sehingga tidak boleh
mengecualikan masjid-masjid tertentu dan membolehkan masjid yang lain. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/185)
Redaksi lain dengan hadits yang sama,
sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, “Adapun para wanita haid menjauh dari shalat.”
Kesimpulan: Barang
siapa yang mengatakan wanita haid dilarang tinggal di masjid maka telah ada
ulama terdahulu yang mengatakan demikian. Dan barang siapa yang mengatakan
wanita haid boleh tingal di masjid, juga telah ada ulama salaf yang berpendapat
demikian. Penyusun berharap agar para pembaca tidak berhenti mempelajari
masalah ini sampai di sini, akan tetapi berusaha memperdalam dalil-dalil yang
disampaikan tiap-tiap pendapat
alhamdulillah
Demikian amalan ibbadah yang masih diperselisihkan para ulama untuk dilakukan oleh wanita yang sedang haid, Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjadikan antum sebagai wanita dan ibu yang shaliha. Yang akan melahirkan generasi pejuang dan pendakwah yang shalih dan shaliha.
Demikian amalan ibbadah yang masih diperselisihkan para ulama untuk dilakukan oleh wanita yang sedang haid, Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjadikan antum sebagai wanita dan ibu yang shaliha. Yang akan melahirkan generasi pejuang dan pendakwah yang shalih dan shaliha.
Wallohu
a’lam
Referensi
:
Panduan
Praktis Wanita Haid karangan Umi Farikhah Abdul Mu’ti