بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
اللَّÙ‡ُÙ…َّ صَÙ„ِّ عَÙ„َÙ‰ Ù…ُØَÙ…َّدٍ
Di pagi hari yang hangat, sekelompok anak sedang bermain. Tandusnya bumi Mekah tidak mengurangi keceriaan mereka dalam bercengkerama. Di tengah candaan dan obrolan mereka ada seorang nnak yang terkagetdengan pertanyaan temannya. “Mana ayahmu?”, ketika teman-temannya saling bercerita tentang indahnya hari-hari bersama ayahnya, dia hanya tertunduk lesu.
“Siapa ayahku?”. “Dimana ayahku?”.
Pertanyaan yang menghantui saat termenung sendiri, terduduk di bawah pohon kurma yang seakan ingin menghiburnya. Dia menyadari, selama ini dia hidup tanpa sosok ayah yang sebagaimana teman-temanya miliki.
Menunduk lesu, dia melangkah pulang menelusuri tajamnya kerikil jalan yang tidak setajam pertanyaan temannya. Di pikirannya hanya satu, bertanya ke ibu tentang ayah. Sesampainya di rumah beralaskan tanah dan beratap pelepah kurma, dia memeluk ibunya.
“Buuuuu….. siapa ayahku?, Dimana ayahku?”
Pertanyaan yang menyayat hati seorang ibu yang telah bertahun-tahun menahan sendiri pahitnya kehilangan sosok penguat jiwa. Dia terdiam membisu, ketika anaknya bertanya tentang ayah. Belum sempat dia menjawab, anaknya mencurahkan isi hatinya
“Bu, kenapa aku tidak punya ayah?, kenapa semua teman-teman mempunyai ayah?”.
Dia serba bingung, karena anak seusia anaknya sedang dekat-dekatnya dengan sang ayah. Akhirnya dengan memantapkan jiwa, dia memeluk anaknya, sembari mengucapkan kalimat yang beratnya membuat bibir terasa kilu.
“Nak… mari kita mengunjungi ayah besok”.
Sebuah jawaban yang sementara menenangkan buah hatinya, sang anak pun bahagia, terbayang sosok ayah akan dipeluk esok hari. Teriknya matahari, panasnya padang pasir semakin membuat hati sang anak hangat akan pelukan rindu. Justru sebaliknya bagi sang ibu, semakin membuat hatinya bergemuruh membayangkan ketika anaknya mengetahui keadaan sesungguhnya.
Kaki sang ibu terhenti di depan gundukan-gundukan tanah yang terhiasi batu diatasnya. Sang ibu bersimpuh dan perlahan air matanya menetes di depan tempat terakhir suaminya. Sang anak pun terlihat bingung, kenapa ibunya berhenti di sini, dan menangis di hadapan kuburan?. Dengan memandang wajah ibu penuh dengan penasaran, sang anak pun bertanya,
“Bu, kenapa kita ke sini? Kenapa ibu menangis? Mana ayah bu?”
Pertanyaan polos yang membuat sang ibu memeluk erat anaknya untuk menumpahkan deraian air mata, sembari mengatakan siapa dan dimana ayahnya sesungguhnya,
“Nak… ayahmu telah meninggalkan sejak kamu di kandungan ibu, dan di dalam ini adalah ayahmu”
Duarrr…. Petir di bawah teriknya matahari kota menyambar jiwa terdalam sang anak, dia terdiam tanpa menanggapi jawaban ibu. Kebahagiaan yang telah diimpikan sirna sudah, spontan dia menangis selayaknya anak merengek di depan ayahnya,
“Ayaaaaahhh…. Kenapa ayah meninggalkan kami?, aku ingin bertemu ayah??? Ayo ayah pulang???”.
Lebih sakit lagi bagi sang ibu, menangis tanpa suara tapi penuh deraian air mata, melihat kenyataan suaminya telah tiada, dan kini anak satu-satunya sedang menangisinya. Kini hanya tangisan di antara dua insan yang sedang kehilangan pelengkap kehidupan mereka. Suasana hening pemakaman membuat mereka terlarut dalam kerinduan yang belum bisa tersampaikan.
Karena tak ingin berlama-lama dalam kesedihan, sang ibu mengajak anak kecilnya untuk segera pulang ke rumah. Perjalanan pulang, sungguh berbeda dengan perjalanan berangkat, hamparan padang pasir yang sebelumnya terasa hamparan rumput hijau bagi sang anak, sekarang panasnya benar-benar menusuk tidak hanya kulit, tapi hati paling dalam. Langit yang sebelumnya cerah, kini mendadak terasa berawan hitam.
“Bluggg…”
Suara dari arah belakang yang menghentikan lamunan sang anak. Di tengah perjalanan panjang, tiba-tiba sang ibu terjatuh.
“Bu… kenapa ibu?”. Tanya anak dengan membantu ibunya untuk bangun.
“Tidak apa-apa nak, sepertinya ibu capek, sebaiknya mari kita cari tempat untuk istirahat”.
Di atas tanah beralaskan tikar, ibunya tidur terdiam. Mulai tampak raut mendung di wajah sang anak.
“Bu… ibu tidak apa-apa kan?”.
“Tidak apa-apa nak, ibu hanya ingin istirahat”. Jawaban yang cukup menenangkan sang anak untuk menunggui ibunya istirahat tidur.
“Bu… sudah menjelang sore, ayo kita lanjutkan perjalanan”, sang anak terbangun dan membangunkan ibunya.
Sepi… hening…. Tidak ada jawaban sekatapun dari ibunya.
“Bu,,, ayo bangun”.
Sepi.. masih sepi. “bu….” Sang anak mulai mendorong badan ibunya yang tertidur miring. Masih juga belum ada jawaban dari ibunya. Bisu yang membuat hati sang anak mulai gelisah. Tapi dia tidak menyerah membangunkan ibunya lagi, “Bu….. ibu ayo bangun”. Tampak sosok wanita tua keluar dari kamarnya, lalu mengecek kondisi sang ibu, dan akhirnya dia menutup wajah sang ibu dengan sehelai kain.
Sang anak pun kaget dan marah, “Kenapa wajah ibuku ditutup?!” pertanyaan serius dengan mata berkaca-kaca.
“Nak…ibumu meninggal”
Duarrr!!!… Petir kedua yang menyambar jiwanya, mendadak kilu. Badannya mendadak kaku, perlahan namun pasti, butiran air mata satu persatu tidak bisa dibendung. Tidak ada lagi tanya jawab, yang ada dia memeluk badan orang yang paling dicintai seerat mungkin.
“Bu…. Ibu….” Panggilan sendu yang tidak mungkin lagi dijawab. “Ayo pulang…”,”bu.. ibuuuuuuuuuuuu, jawab bu….” Panggilan terakhir dia yang dilanjutkan air mata yang semakin deras membasahi bumi.
SELESAI
Jangan lupa untuk mengisi << klik
============================================
Ya Alloh, ampunilah dosaku, dosa orang tuaku, dosa guruku
Kumpulkan kami dalam satu iman di surga Mu bersama Rasulullah saw .