Daftar Isi
Pendahuluan Ajang Gengsi Efek Psikologis Nilai Inklusif Satu Bintang Dunia Rimba KesimpulanAku Tidak Suka Perlombaan dalam Pendidikan
Disclaimer: Tulisan ini adalah curahan pemikiran dan perasaan. Bukan untuk menyinggung pihak atau instansi mana pun. Saya sendiri pernah mengikuti berbagai lomba, dari tingkat desa hingga nasional. Tapi pengalaman itu justru membuka mata—bahwa ada sesuatu yang keliru dan harus kita renungkan bersama.
🎯 Lomba-Lomba Pendidikan: Adu Gengsi yang Membunuh Esensi
Kita menyaksikan ironi besar: lomba-lomba diadakan atas nama "pembinaan karakter", "mencari bibit unggul", atau "mendorong kreativitas siswa." Tapi pada praktiknya?
➡️ Yang diutamakan hanya satu: MENANG.
Lomba bukan lagi sarana belajar, tapi panggung adu gengsi:
- • Untuk sekolah
- • Untuk guru pembimbing
- • Untuk kepala daerah atau instansi yang ingin terlihat "berhasil"
Demi satu medali emas, ratusan siswa lainnya disingkirkan secara halus—dengan label tidak layak, kurang bakat, atau biasa saja.
Padahal pendidikan seharusnya memeluk semua anak, bukan hanya menyorot segelintir yang dianggap "unggul".
1️⃣ Lomba sebagai Ajang Gengsi, Bukan Edukasi
Alih-alih menciptakan ruang belajar, banyak lomba justru menjadi:
Alat pencitraan sekolah
Sarana branding instansi
Ajang pamer bagi pihak yang ingin naik pangkat
Apakah ini edukatif? Atau hanya kosmetik?
2️⃣ Efek Psikologis: Satu Piala, Ratusan yang Terluka
Satu anak menang. Tapi ratusan lainnya?
Merasa tidak berharga
Minder, padahal mereka juga berusaha
Tidak dihargai proses belajarnya
Mulai percaya bahwa mereka "tidak cukup pintar"
Ini luka psikologis yang tak kasat mata, tapi sangat nyata.
3️⃣ Mengabaikan Nilai Pendidikan Inklusif
Pendidikan bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang tidak tertinggal.
Jika lomba terus jadi tolok ukur, maka:
Anak-anak dengan gaya belajar berbeda tak akan pernah dianggap "menang"
Nilai-nilai penting seperti empati, gotong royong, dan ketekunan—terabaikan
Kita membesarkan generasi yang tahu cara bersaing, tapi tak tahu cara bersanding.
4️⃣ Mengorbitkan Satu Bintang, Mengabaikan Jutaan Lainnya
Inilah fakta menyakitkan yang sering tidak disadari:
Satu anak dijadikan "proyek unggulan", dibina intensif, dilibatkan dalam lomba demi lomba.
Sementara jutaan bintang lain yang sama terangnya—hanya butuh waktu dan cara berbeda—diabaikan, tidak dianggap.
Pendidikan seharusnya bukan tentang siapa yang bisa dipajang di panggung,
tapi tentang bagaimana semua anak menemukan cahayanya.
💥 Apakah Dunia Anak Harus Disamakan dengan Rimba?
Apakah sekolah kini jadi rimba—di mana yang kuat diagungkan, yang lemah disingkirkan?
Padahal sekolah seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan arena seleksi alam.
📌 "Perlombaan Dimulai dari Kelas"
Sejak hari pertama belajar, siswa diseret ke kompetisi: Siapa cepat hafal, siapa cepat paham—dialah yang dianggap pintar.
Yang lain? Tertinggal. Terdiam. Merasa tak layak. Perlahan kehilangan rasa percaya pada diri sendiri.
📌 "Peringkat 1 Dipajang, Disanjung, Dijadikan Wakil Sekolah"
Bukan karena proses belajarnya, tapi karena hasil akhirnya bisa dipamerkan.
Nilai jadi mahkota. Piala jadi bukti cinta. Lalu sekolah bertepuk tangan, seolah inilah inti pendidikan.
📌 "Lalu Guru Hanya Fokus pada yang Dianggap Pintar"
Yang kesulitan?
- • Didiamkan
- • Dibiarkan
- • Dicap "tidak mampu"
Seakan tugas guru hanyalah mencetak juara lomba—bukan memanusiakan semua anak.
🚨 Ini Bukan Pendidikan. Ini Seleksi Alam.
Dan seleksi alam tidak punya belas kasih.
Jika pendidikan kita terus seperti ini, maka:
Kita bukan sedang mencerdaskan bangsa,
tapi sedang menyaring siapa yang layak dipajang,
lalu meninggalkan yang lain dalam gelap.
🌱 Sekolah Harus Menjadi Rumah, Bukan Arena
Pendidikan bukan panggung cepat-cepatan.
Bukan tentang siapa paling dulu sampai.
Tapi tentang siapa yang terus tumbuh — meski pelan.
Dan siapa yang dituntun — meski tertatih.
Sekolah seharusnya memeluk semua anak:
✍️ Penutup
Tulisan ini tidak ditujukan untuk membenci perlombaan.
Tapi untuk mengajak kita semua merenung:
Apakah sistem yang kita puja ini benar-benar mendidik?
Atau hanya membuat kita lupa…
bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia.
📝 Tentang Blog Ini
Blog ini — https://ubaygurupai.blogspot.com —
sama sekali bukan untuk mengikuti kompetisi, bukan untuk mengalahkan blog lain, bukan untuk ikut proyek, bukan pula sebagai jalan "cari muka" agar naik pangkat.
Blog ini lahir dari keresahan dan harapan:
Sebagai media dakwah, menyuarakan nilai-nilai yang sering terabaikan.
Sebagai ruang untuk mewarnai dunia pendidikan dengan inovasi dan pemikiran-pemikiran jujur dari hati.
Semoga blog ini bisa menjadi pengingat—bahwa pendidikan bukan tentang lomba, tapi tentang cinta dan cahaya yang seharusnya dirasakan semua anak.
Mari Renungkan Bersama
Jika tulisan ini tak bisa mengubah kondisi, setidaknya bisa mengusik mindset kita tentang makna sejati pendidikan.