Contoh Lengkap Studi Kasus

0

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Ikuti Channel WA PPG 👉 bit.ly/4eXRBI1 (GRATIS)
Follow Tiktok kami, klik 👉 




Assalamua'alaikum Pejuang PPG Kemenag 

Semoga Alloh memberikan keberkahan dan keberhasilan untuk antum, silahkan kisi-kisi dipelajari untuk persiapan Ujian yang Paling Menentukan. namun sebelum baca ✨10 Tips Sukses PPG  (pengalaman admin) 

Berikut ini Contoh Studi Kasus untuk UP PPG Kemenag

Ini hanya contoh!, dilarang copas untuk menjawab ujian. buatlah Studi Kasus dengan JUJUR.


1. Studi Kasus Strategi Pembelajaran

Masalah: Terlalu banyak ceramah, minim aktivitas.

Pada awalnya, saya merasa sudah mengajar dengan baik. Saya memberikan penjelasan panjang, menyampaikan nilai-nilai agama, dan berharap siswa paham setelah mendengar ceramah saya. Saya bahkan merasa puas saat suara saya memenuhi kelas. Kondisi ideal yang saya harapkan adalah siswa paham, tertarik, dan termotivasi belajar.

Namun kenyataannya berbeda. Siswa terlihat lelah, bosan, dan tidak fokus. Bahkan beberapa menguap atau sibuk sendiri. Ketika saya memberi pertanyaan, mereka cenderung diam, atau asal menjawab. Di sinilah saya sadar, ada kesenjangan antara metode saya dan kebutuhan mereka. Ceramah panjang tidak membuat mereka paham, justru membuat mereka kehilangan minat.


Saya mulai merenung dan mengevaluasi. Saya butuh cara yang lebih dekat dengan dunia anak. Maka saya mencoba mengganti sebagian ceramah dengan aktivitas sederhana. Saya membuat kartu tanya-jawab berisi materi pelajaran, kuis kelompok, dan diskusi ringan dalam kelompok kecil. Di akhir kegiatan, saya ajak mereka bermain tebak-tebakan berhadiah stiker atau pujian.

Upaya ini cukup praktis dan tidak butuh alat canggih. Hanya butuh kemauan mengubah cara lama. Aktivitas ini pun rasional karena anak-anak usia SD memang belajar lebih efektif lewat aktivitas langsung. Strategi ini juga relevan dengan prinsip pembelajaran aktif dan menyenangkan dalam Kurikulum Merdeka.


Yang membuat saya terkejut, respon siswa sangat positif. Mereka lebih ceria, antusias, dan bahkan yang biasanya pendiam ikut bersuara. Saya melihat perubahan nyata, bukan hanya pada keaktifan, tetapi juga pada pemahaman. Beberapa siswa mampu mengingat kembali materi lewat permainan yang kami lakukan. Kualitas keterlibatan meningkat, dan suasana kelas jadi lebih hidup.

Dari pengalaman ini, saya menyadari pentingnya media pembelajaran berbasis aktivitas. Saya belajar bahwa ceramah boleh saja, tapi harus dikombinasikan dengan aktivitas yang melibatkan siswa secara langsung. Untuk ke depan, saya akan menyiapkan skenario pembelajaran yang fleksibel, dengan ceramah singkat diselingi kegiatan, serta menggunakan alat bantu visual atau media interaktif sederhana.

Saya juga akan mengantisipasi kejenuhan siswa dengan mengganti jenis aktivitas secara berkala, dan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, bukan hanya sebagai pendengar. Ini jadi pengalaman berharga, karena mengubah cara saya memandang peran guru: bukan hanya penyampai ilmu, tapi fasilitator yang menghidupkan kelas.


2. Studi Kasus Media Pembelajaran

Masalah: Media hanya teks, tidak ada gambar

Dalam beberapa tahun pertama saya mengajar, saya sering mengandalkan media pembelajaran yang hanya berisi teks. Baik di LKS, papan tulis, maupun bahan presentasi, semuanya lebih banyak berisi tulisan. Saya berpikir, selama teks itu jelas, siswa pasti bisa mengikuti. Saya berharap pembelajaran berjalan efektif dan siswa bisa memahami isi materi.

Namun kenyataannya, siswa terlihat cepat bosan. Bahkan saat saya menjelaskan materi yang menurut saya penting dan menarik, mereka tidak menunjukkan ketertarikan. Beberapa terlihat menguap, ada yang melamun, dan ketika saya tanya, mereka kesulitan memahami konteks pelajaran. Di sinilah saya mulai sadar, ada jarak antara cara saya menyampaikan dan cara anak menerima. Anak-anak butuh media yang bisa mereka lihat dan rasakan, bukan hanya baca.


Saya mulai mencari solusi yang mudah dan sesuai kondisi saya. Saya membuat media bergambar sederhana, mulai dari mencetak gambar hewan saat pelajaran tema, gambar tempat ibadah saat PAI, hingga infografis kecil yang menunjukkan langkah-langkah berwudu atau gerakan salat. Saya juga mengunduh gambar dari internet dan menyisipkannya ke dalam slide PowerPoint, atau menempelkannya di papan kelas.

Strategi ini tidak rumit dan sangat rasional, apalagi anak-anak SD cenderung visual. Dengan gambar, mereka lebih mudah mengingat dan memahami. Metode ini selaras dengan prinsip pembelajaran visual-auditori-kinestetik, serta relevan dengan Kurikulum Merdeka yang mendorong pembelajaran bermakna dan menyenangkan.

Setelah diterapkan, saya melihat perubahan besar. Siswa yang sebelumnya terlihat pasif menjadi lebih hidup. Mereka menunjuk gambar, bertanya, bahkan bercerita. Saya mengamati perubahan ekspresi wajah dan respons mereka, yang menjadi bukti nyata keberhasilan strategi ini. Gambar ternyata menjadi jembatan antara teks dan pemahaman nyata.


Dari pengalaman ini, saya mendapat pelajaran berharga: anak-anak tidak cukup hanya diberi teks. Visualisasi adalah kebutuhan, bukan pelengkap. Oleh karena itu, saya bertekad selalu menyisipkan unsur visual dalam setiap materi. Saya juga mulai mengumpulkan gambar tematik sesuai mata pelajaran, agar lebih cepat dalam menyiapkan pembelajaran ke depan.

Untuk mencegah masalah serupa, saya akan terus mengevaluasi media ajar dan melibatkan siswa dalam proses memilih atau membuat gambar sendiri. Ini tidak hanya memperkuat pemahaman, tapi juga mendorong kreativitas mereka. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa media bergambar bukan sekadar variasi, tapi kunci penting dalam pembelajaran anak usia dini.

🎓 Ingin Trik menyusun Studi Kasus?

Diajarkan Trik Cepat dengan Benar dan Jujur!

Klik 👇

MAU

3. Studi Kasus Penilaian

Masalah: Tidak terbiasa menilai proses belajar, hanya hasil akhir.

Beberapa tahun lalu, saya sangat fokus pada hasil akhir belajar siswa. Nilai ulangan, tugas, atau portofolio menjadi acuan utama saya dalam menentukan capaian belajar. Saya merasa, kalau siswa nilainya tinggi, berarti mereka sudah paham. Itu menjadi kebiasaan saya dari dulu, dan saya pikir itu wajar.

Namun dalam perjalanan, saya menemukan banyak kejanggalan. Ada siswa yang aktif bertanya, semangat belajar, tapi nilainya rendah. Sebaliknya, ada siswa yang pendiam dan pasif, tapi hasil akhirnya bagus. Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari cara saya menilai. Saya sadar, selama ini saya mengabaikan proses belajar mereka.

Saya mulai mencari cara yang praktis dan tidak memberatkan, karena saya sendiri punya banyak kelas dan tanggung jawab. Akhirnya saya mencoba lembar observasi sederhana: saya buat format kecil berisi indikator proses, misalnya “aktif bertanya”, “bekerja sama”, “berusaha mencoba meski salah”. Saya juga membuat catatan anekdot yang saya isi sewaktu melihat hal menarik dari perilaku belajar siswa. Saya melakukannya secara berkala setiap minggu.


Ternyata, hasilnya luar biasa. Saya bisa melihat perkembangan siswa yang selama ini tidak tampak dari nilai saja. Saya jadi tahu siapa yang punya motivasi tinggi meski hasil tesnya masih rendah, dan siapa yang butuh tantangan karena kemampuan berpikirnya cepat. Penilaian proses ini membantu saya menyusun strategi pembelajaran yang lebih adil dan berpihak.

Saya juga melihat perubahan nyata dari siswa. Ketika mereka tahu bahwa usaha dan prosesnya juga dinilai, mereka jadi lebih antusias mengikuti kegiatan. Bahkan beberapa siswa mulai lebih percaya diri mencoba, karena mereka tidak lagi takut salah.

Pengalaman ini membuat saya berpikir ulang tentang makna penilaian. Bukan hanya angka akhir, tapi proses belajar mereka yang harus saya pahami. Ke depan, saya akan terus menggunakan kombinasi penilaian proses dan hasil. Saya juga akan melatih diri lebih peka dalam mengamati perilaku siswa di kelas, dan menyusun instrumen yang lebih rapi dan efisien.


Untuk menghindari masalah ini terulang, saya akan menyediakan waktu khusus tiap minggu untuk menilai proses dan menyimpannya dalam portofolio siswa. Strategi ini menjadi pegangan saya untuk mewujudkan pembelajaran yang lebih adil, utuh, dan berpihak pada proses.


4. Studi Kasus LKPD

Masalah: Bahasa dalam LKPD terlalu formal.

Saya pernah mengalami satu masa di mana siswa saya terlihat enggan mengerjakan LKPD, bahkan sekadar membaca pun tampaknya malas. Saat itu saya bertanya-tanya, “Kenapa mereka tidak antusias?” Padahal saya merasa LKPD yang saya susun sudah lengkap dan terstruktur.

Namun ketika saya minta mereka membaca keras-keras isi LKPD, barulah saya menyadari masalahnya: bahasa LKPD saya terlalu formal dan kaku. Banyak kalimat seperti, “Jelaskan secara sistematis…” atau “Analisislah data berikut…” yang terdengar lebih cocok untuk mahasiswa, bukan siswa SD.


Saya menyadari adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Harapan saya adalah LKPD menjadi panduan belajar mandiri yang mudah dipahami siswa. Namun kenyataannya, LKPD justru menjadi hambatan karena bahasanya tidak akrab bagi mereka. Kalimat terlalu panjang, perintah terlalu rumit, dan terasa seperti soal ujian, bukan kegiatan belajar menyenangkan.

Saya kemudian menyusun ulang LKPD tersebut. Saya ganti kalimat perintah dengan bahasa yang lebih ringan, seperti “Yuk, kita coba amati bersama,” atau “Menurutmu, apa yang akan terjadi kalau…?” Saya juga memecah kalimat panjang menjadi kalimat pendek, agar mudah dipahami. Tak lupa, saya menyisipkan ilustrasi kecil dan emoji di bagian ajakan, agar anak merasa lebih dekat dengan tugasnya.


Hasilnya sangat terasa. Siswa lebih cepat memahami isi LKPD, bahkan saya tidak perlu lagi menjelaskan ulang seperti sebelumnya. Mereka lebih aktif mengerjakan dalam kelompok, dan saya melihat peningkatan semangat belajar. Beberapa siswa bahkan memberi komentar, “Bu, LKPD-nya sekarang lebih enak dibaca.”

Dari pengalaman ini saya belajar bahwa bahasa dalam media pembelajaran bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga jembatan emosi. Jika bahasa terlalu jauh dari dunia mereka, siswa merasa asing dan tertekan. Tapi jika bahasanya dekat, mereka akan merasa disambut dan dimudahkan.

Ke depannya, saya berkomitmen untuk selalu menyusun LKPD dengan bahasa yang berpihak pada siswa. Saya juga akan melibatkan siswa dalam menilai kejelasan LKPD yang saya buat. Hal ini penting agar saya tidak terjebak dalam kebiasaan guru yang hanya memandang dari sudut pandangnya sendiri.


Sebagai antisipasi, saya menyiapkan template LKPD ramah anak, yang bisa digunakan ulang dengan tema berbeda. Ini menjadi strategi saya untuk memastikan bahwa LKPD tidak hanya bermutu isinya, tapi juga hangat bahasanya.



✨ Yakin ga mau dibimbing kami?
🎓 Kami sudah bantu lebih dari 3000 alumni PPG Kemenag!
👉 Sekarang giliran kamu!

AYO GABUNG SEKARANG!
👇👇👇👇👇👇
┈••✦☪︎✦••┈🕋┈••✦☪︎✦••┈

DUKUNG blog ini klik 👉 

Jika ingin memberi kritik, saran atau berbagi informasi ke kami, silahkan hubungi kami melalui
Email: ubaygurupai2021@gmail.com 

Jangan lupa untuk mengisi 👉 
Yuk baca 👉 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top