Guru PAI: Jalan Sunyi Menuju Profesionalisme
PPG — Pendidikan Profesi Guru — katanya adalah gerbang menuju profesionalisme. Tapi bagi Guru PAI, gerbang itu tidak pernah dibuka lebar.
Ia berdiri megah... tapi penuh pagar birokrasi dan portal politik lokal.
“PPG PAI itu program Kemenag.”
Ya, benar. Tapi... bukan tanggungan penuh Kemenag. Ketika bicara anggaran, jawabannya berubah:
“APBN tidak cukup, mohon Pemda bantu.”
Lalu dimulailah drama tahunan: Guru PAI bersiap bukan dengan buku, tapi dengan surat pengantar. Mereka turun ke dinas, ke Setda, ke DPRD, menyodorkan proposal — bukan untuk bangun mushola, tapi untuk mendapat hak belajar.
Mereka tidak sedang menjajakan produk. Mereka hanya ingin kesempatan jadi profesional. Tapi harus berhadapan dengan realitas politik lokal.
Dan Pemda?
Bingung. “Ini program pusat, kenapa kami yang disuruh bayar?”
Wajar. Pemda sudah pusing dengan taman kota, UMKM binaan, pelatihan influencer, hingga proyek jalan. Tiba-tiba disuruh sisihkan anggaran buat PPG guru agama?
Jawaban klasik pun keluar:
- “Belum masuk anggaran.”
- “Belum jadi prioritas.”
- “Tunggu APBD perubahan.”
Dan ketika guru PAI ingin membiayai sendiri?
Dilarang. Tidak sesuai regulasi.
“PPG harus dibiayai negara,” katanya.
Tapi negaranya... lagi kehabisan saldo.
Maka siapa yang salah?
Bukan Kemenag. Dia sudah punya program.
Bukan Pemda. Dia tidak punya kewajiban.
Yang salah: Guru PAI.
Karena terlalu berharap pada manusia.
Salah karena terlalu percaya bahwa negara hadir. Salah karena yakin PPG bisa diraih lewat jalur lurus.
“Kalau kamu guru PAI, belajarlah lobi. Belajarlah menunduk. Belajarlah bertahan. Karena kamu bukan hanya pendidik, kamu juga harus jadi negosiator anggaran.”
Kamu tidak boleh marah. Tidak boleh mengeluh. Tidak boleh bergerak terlalu banyak. Nanti dianggap tidak sabar, tidak tawadhu, kurang ikhlas beramal.
Sungguh...
PPG seharusnya tentang penguatan profesi. Tapi bagi guru PAI, PPG adalah pelajaran baru:
“Bagaimana menjadi kuat dalam ketidakjelasan, dan tetap bertahan meski dilupakan sistem.”
💔 Sendirian di Lorong Profesionalisme
Di ruang guru itu, hanya tinggal dia — guru PAI satu-satunya yang belum PPG.
Bukan karena malas. Bukan karena bodoh. Tapi karena sistem memintanya ikut lomba sabar level nasional.
Dia melihat guru-guru lain—mapel umum—tiba-tiba dapat panggilan PPG.
Tanpa proposal, tanpa SK dari bupati, tanpa harus menyebut-nyebut nama pejabat.
Cukup klik di SIMPKB. Dapat akun LMS. Langsung belajar.
Sementara dia?
Masih tanpa putus asa membuka keajaiban di SIAGA.
Masih menunggu kabar dari dinas yang katanya belum teranggarkan.
Masih jadi tamu yang tidak diundang di negerinya sendiri.
Dan ketika ditanya kenapa belum PPG?
Orang-orang hanya berkata:
"Oh, mungkin belum rezeki…"
Padahal rezekinya tersangkut di meja anggaran daerah.
Dia tidak iri.
Tapi dia juga bukan batu.
Hatinya mengeras tiap kali mendengar kabar:
"Eh Bu Ana udah lulus PPG lho, tinggal tunggu pencairan."
Sementara dia masih memohon agar namanya bisa naik ke rapat koordinasi.
Jika ini bukan diskriminasi struktural, maka mungkin kita butuh istilah baru: Profesionalisme Berbasis Lobi dan Doa.
Ditulis oleh mereka yang tidak lelah berharap, tapi mulai sadar bahwa harapan kadang bukan pada sistem... tapi hanya pada Tuhan.
Oleh: Ngubaidillah, M.Pd., Gr.